Total Tayangan Halaman

Rabu, 20 Februari 2013

Menggugat Cengkraman Asing (Bank)

“Bank adalah jantung perekonomian negara. Jika jantungnya dikuasai asing, tentu efektifitas kebijakan moneter bakal terpengaruh, terutama saat terjadi krisis," papar Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani baru-baru ini.

Menurutnya, kepemilikan asing di perbankan bisa membuat kebijakan moneter tidak efisien. Artinya, semakin banyak asing yang menguasai, patokan bunga bisa saja disetir oleh asing karena pasar juga disetir oleh asing.

“Apalagi manfaat bank asing bagi perekonomian Indonesia juga tidak banyak. Yang jelas, investor asing tidak boleh menjadi pemegang saham pengendali," paparnya.

Statistik Perbankan Indonesia memperlihatkan asing masih banyak beredar di industri perbankan lokal. Per Juni 2009, aset bank asing dan bank yang sebagian besar sahamnya dikuasai asing mencapai Rp 865,08 triliun, atau setara 34,7% dari total aset perbankan yang mencapai Rp 2.496,2 triliun. Angka ini mengabaikan nilai aset dari bank campuran.

Sebenarnya angka ini menunjukkan penurunan dibanding periode yang sama 2008. Ketika itu, kepemilikan asing atas aset perbankan nasional per Juni 2008 mencapai 47,02%. Ini berarti aset perbankan yang dikuasainya mencapai Rp 960 triliun dari total aset senilai Rp 2.041 triliun. Demikian hasil riset yang dirilis Infobank.

Kendati kepemilikan asing menunjukkan penurunan, porsi pemerintah yang diwakili bank berstatus badan usaha milik negara (BUMN) dan sebagian bank swasta terus merosot hingga hanya 35%.

Padahal, sebelumnya, bank-bank BUMN menguasai lebih dari separuh aset industri perbankan. Situasi ini dinilai berbahaya, mengingat posisi perbankan yang krusial.

Tingginya kepemilikan asing di industri perbankan lokal memang menyebabkan rendahnya pertumbuhan kredit perbankan. Ini terlihat dari angka penyaluran kredit di semester I 2009, dimana motor utama kredit adalah bank-bank BUMN dan Bank Pembangunan Daerah (BPD).

“Padahal, yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan lebih berkulitas dan berkesinambungan ialah kredit investasi dan modal kerja,” kata pengamat perbankan Iman Sugema.

Menurutnya, porsi kepemilikan asing yang semakin besar merupakan buntut proses perbaikan struktur perbankan saat krisis 1998 lalu. Pelonggaran ini juga disarankan Dana Moneter Internasional (IMF). Batas maksimal kepemilikan asing di bank yang semula 49%, dinaikkan menjadi 99%.

Seperti diketahui, porsi kepemilikan asing terus meningkat sejak krisis 1998. Pada 2005, porsi kepemilikan asing terhadap aset perbankan mencapai 42,33% dipicu maraknya pembelian bank-bank swasta nasional besar yang dijual Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Tercatat kala itu bank-bank besar yang sebelumnya dimiliki pengusaha nasional, seperti BCA, Danamon, BII, Niaga, Permata, dan LippoBank, berpindah ke investor asing, terutama Singapura dan Malaysia.

Dengan dominasi asing di bank lokal yang dinilai tak menguntungkan, Perbanas dan IBI sempat mengusulkan kepada BI agar pembatasan kepemilikan asing menjadi fokus API yang baru.

BI harus berani melakukan gebrakan untuk membatasi dominasi asing dalam perbankan itu. ''Jika BI punya kemauan politik, maka langkah membatasi perbankan asing itu bisa saja. Gebrakan BI jelas ditunggu,'' kata Iman Sugema

Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution pun menyambut baik usulan itu. Menurutnya, bank sentral kini tengah meninjau ulang kepemilikan asing saat merevisi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) agar peran bank nasional bisa kembali besar.

Terkait hal ini, Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono berharap BI merevisi Undang-Undang Nomor 10/1998. Tujuannya adalah agar asing tidak mendominasi perbankan. "Saya pikir, batas kepemilikan maksimal 51% sudah cukup," katanya.

Namun, bagi pihak asing yang telanjur memiliki saham hingga 99% saham di bank lokal, ia menilai BI membuat aturan, dengan mewajibkan penjualan sebagian saham ke publik atau bank lokal. "Pelepasan saham bisa secara bertahap. Pembeli bisa siapa saja, asalkan investor lokal," ujarnya.

Menurutnya, dengan prinsip penghitungan modal baru, perbankan lokal akan membutuhkan tambahan modal mengikuti ketentuan Basel II. Namun mengingat besarnya modal yang disyaratkan, ia menyarankan bank-bank kecil melakukan merger dengan bank lain. "Sebaiknya pemerintah juga memilih opsi itu. Bukan dengan mengundang investor asing," tukasnya.

Selama kontrol masih di tangan bangsa sendiri, kepemilikan asing sebenarnya bermanfaat, apalagi dalam situasi minimnya dana investasi dalam negeri. Investor asing biasanya membawa modal segar dan inovasi baru yang memperkaya perbankan dalam negeri. Namun, jika tidak terkontrol, kepemilikan asing bisa 
meningkatkan risiko perekonomian.
DIBAWAH CENGKRAMAN ASING PERNAHKAH ANDA MENYADARI, DARI BANGUN TIDUR, BERAKTIVITAS, HINGGA TIDUR LAGI, SEMUANYA TELAHDIKUASAI PERUSAHAAN ASING? Dari mulai minum Aqua (74 persen sahamnya dikuasai Danone, Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 persen milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (82 persen dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (Unilever), merokok Sampoerna (97 persen milik Philips Morris, AS). Mau belanja ke supermarket Carrefour (Prancis), Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan 75 persen. Atau mau ke Giant (milik Dairy Farm Internasional, Malaysia, yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Mau menabung atau mengambil uang di BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional lainnya, hampir semua bank ini sudah milik perusahaan asing. Bangun rumah pakai semen Tiga Roda (Heidelberg, Jerman), Semen Gresik (Cemex, Meksiko), Semen Cibinong (Holchim, Swiss). Kalau mau disebut satu per satu ketergantungan kita terhadap perusahaan asing tentunya bakal panjang daftarnya, dan memalukan. Buku ini membedah akar persoalan cengkeraman asing itu sembari memberi solusi atas apa yang mesti kita lakukan, terutama pemerintah, untuk menjadi tuan di negeri kita sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar