Total Tayangan Halaman

Minggu, 11 Maret 2012

INTEGRASI TIMOR TIMUR Dari 1976 sampai 1999


Walaupun, awalnya Australia mendukung intergrasi Timor Leste ke dalam Republik Indonesia, namun banyak peristiwa terjadi yang menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sedikit mengalami gangguan. Masyarakat Australia sudah lama membantah dengan kebijaksanaan permerintah yang dibuktikan berberapa demostrasi dan usaha-usahan yang mendukung kemerdekaan Timor Leste. Akibatnya, waktu pemerintah Perdana Menteri John Howard mengubah kebijaksanaan terhadap kemerdekaan Timor Leste banyak orang, baik di Australia dan di Indonesia, menjadi heran. Ada tokoh politik Indonesia yang pasti merasa bahwa perubahan kebijaksanaan Australia mencampuri dalam soal domestik dan mengancam kedaulatan Indonesia. Perasaan ini dicerminkan d dengan tindakan demonstrasi-demonstrasi yang terjadi di Jakarta pada tahun 1999. Australia memainkan peranan menyolok dalam proses kemerdekaan Timor Leste, yang sudah lama dipikirkan oleh pembuat kebijaksanaan Australia sebagai isu domestik Indonesia. Lagi pula, ada orang yang percaya bahwa Australia baru mendukung kemerdekaan Timor Leste karena kepentingan sendiri, yakni sumber daya minyak yang terdapat di wilayah Selatan Timor. Kemerdekaan Timor Leste menimbulkan masing-masing kecurigaan tentang negara lain. Australia terlihat sebagai negara Barat yang mau mengkontrol wilayah dan mencampuri dalam hal domsetik negara Asia. Indonesia terlihat sebagai negara belum maju secara demokratik, yang terkesan mendukung kekerasan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masyarakatnya sendiri. Salah paham sudah berjalan lama ditebalkan dan hubungan memburuk. Untuk kali pertama sejak Konfrontasi pada tahun 1966, pasukan Australia dan pasukan Indonesia berhadapan muka dalam keadaan konflik.
Sebagai akibat peranan Australia dalam proses kemerdekaan Timor Leste, hubungannya mengalami banyak perubahan, terutama dalam bidang politik dan militer. Mungkin ada perubahan ekonomik juga akan tetapi ini susah untuk menguraikan karena hubungan ekonomik sudah dipengaruhi oleh Krisis Moneter dan instabilitas politik dan sosial dalam Indonesia. Oleh karena itu indikator-indikator ekonomik tidak dapat dipercayai sebagai bukti untuk pemburukan hubungan Australia dengan Indonesia. Perubahan yang terjadi dalam hubungan militer sangat jelas. Pertama, perjanjian Agreement on Mutual Security (AMS) dilepaskan. Kedua, latihan bersama dibatalkan dan pasukan yang dulu berkerjasama menjadi lawan. Akhirnya, penjual senjata Australia pada Indonesia dihentikan. Perubahan dalam bidang politik dan diplomatik termasuk semua kunjungan politik dibatalkan dan politikus dalam Australia dan Indonesia mencela pihak lain secara terbuka. Selanjutnya, kerjasama dalam kerangka multinasional terbatas dan status ‘high alert’ berada untuk Duta Besar. Secara keseluruhan hubungan Australia dengan Indonesia menjadi bermusuhan.
I. Sejarah Timor Leste

Sejarah Timor Leste banyak ditandai oleh penderitaan dan kekerasan. Waktu rakyat Timor Leste mengumumkan kemerdekaan pada tahun 1999, mereka mengakhiri abad-abad kekuasan asing dan kekerasan yang tersebar luas. Pemerintah Portugis menguasai daerah Timor Portugis (bekas nama untuk Timor Leste) sejak awal abad ke-16. Politik penjajahan Portugis kurang baik dan rakyat Portugis “dinina bobokkan” sementara sumber-sumber alamnya dieksploitasi. Walaupun, transisi dari kekuasaan Portugis tidak mengurangi kekerasan sehingga rakyat Timor Portugis terus menderita, di bawah penguasaan Indonesia. Akhirnya, pada tahun 1999, masyarakat Timor Timur (nama Timor Leste pada saat berada dalam wilayah penguasaan Indonesia) diberikan kesempatan untuk memutuskan nasib sendiri dan mengakhiri zaman penderitaan.
II. Revolusi Anyelir dan Peristiwa-peristiwa di Portugal

Masalah merdeka atau integrasi untuk Timor Timur ditimbulkan karena peristiwa-peristiwa di Portugal. Portugal mengalami pergolakan politik sepanjang tahun 1974. Pada tanggal 25 April 1974 pemerintah Caetano digulingkan revolusi militer- Revolusi Anyelir- yang dipimpin Antonio de Spinola. Pemerintah Portugal yang baru memulai memodernisasikan ekonominya dan menarik kembali secara berangsurangsur dari jajahan di Afrika dan Asia. Ketika penguasaan Timor Portugis dilepaskan pemerintah Portugal, Timor Portugis diberikan kemerdekaannya.

Saat itu banyak partai politik dibentuk termasuk UDT (Uni Demokratik Timor/ Uniao Democratica Timorense), Apodeti (Perhimpunan Demokrasi Rakyat Timor/ Associacao Popular Democratica da Timorense), Fretilin (Front untuk kemerdekaan Timor/ Frente Revolucionario da Timor), KOTA dan Trabalhista. UDT-Fretilin membentuk front anti-integrasi walaupun Apodeti, dan partai kecil yang lain, mendukung integrasi dengan Indonesia. Sejak pemulaan, Apodeti disokong, secara keuangan dan moril, pemerintah di Jakarta. Sepanjang tahun 1974 Indonesia memelihara pendirian bahwa Indonesia tidak berminat kepada penguasaan Timor Portugis. Betapapun, Indonesia terus menyokong tujuan Apodeti dalam cara non-militer. Akan tetapi Apodeti tidak disokong masyarakat Timor Portugis, sekalipun Jakarta mengatakan sebagian besar penduduk Timor Portugis mendukung Apodeti dan tujuannya integrasi dengan Indonesia.

Pengabungan UDT-Fretilin didukung kebanyakan orang Timor Portugis tetapi pengabungan berantakan sebab perbedaan ideologi antara dua partai dan kecurigaan terhadap pihak/partai lain. Pada bulan Mei 1975 UDT menarik diri dari pengabungan dan ia menjadi kurang anti-integrasi dan lebih pro-integrasi. Dengan demikian Indonesia memperbesar kampanyenya mengasingkan Fretilin dari masyarakat Timor Portugis, masyrakat Indonesia, dan yang paling penting, negara-negara Barat. Indonesia melakukan ini oleh mengatakan Fretilin adalah partai sosialis/komunis yang mengancam Indonesia dan capitalismenya dan demokrasinya. Walaupun Portugal tidak mendukung partai politik apa saja dalam secara aktip, kemerdekaan Timor Portugis dilebihkan, tetapi pemerintah Portugal juga tidak mau menghina pemerintah di Jakarta. Sebagai akibat Portugal memainkan peranan yang batas di ketetapan masa depan jajahannya. Akhirnya Fretilin menyatakan kemerdekaannya sebagai Republica Democratica da Timor Leste pada tanggal 28 Nopember 1975. Ini dijawab oleh gerakan pro-integrasi dengan pengumuman Pernyataan Balibo yang merupakan pernyataan integrasi Timor Portugis di dalam Republik Indonesia, pada tanggal 30 Nopember 1975. Dan kemerdekaan Timor Portugis dialihkan.
III. Integrasi ke dalam Republik Indonesia

Sesudah Pernyataan Balibo dinyatakan pengabungan UDT-Apodeti-KOTA-Trabalhista angkatan-angkatan bersenjata Indonesia menyerbu Timor Portugis supaya melindungi putusan integrasi dengan Indonesia. Pada tanggal 7 Desember 1975, sebelum matahari terbit, Dili- ibu kota Timor Portugis- dibombardir oleh pasukan yang diangkut dengan kapal, dan pasukan-pasukan payung dari Kostrad. Penyerbuannya sekaligus berhasil dan tidak berhasil. Pasukan-pasukan payung mendarat di tempat yang salah, bukan kota Dili, tetapi di atas pasukan Fretilin yang sudah mundur dan kedua belah pihak menderita banyak korban. Pasukan-pasukan Indonesia tidak bisa menyatukan rakyat Timor Portugis di bawah bendera Republik Indonesia. Akhirnya, pasukan Indonesia memperoleh kekuasaan yang terbatas. Akan tetapi ada lebih banyak korban, kerusakan fasilitas umum, dan perlawanan dari pemimpin-pemimipin Indonesia. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pemerintah sementara dibentuk oleh penguasa-penguasa Indonesia pada tanggal 17 Desember 1975. Kemudian Majelis Rakyat, yang beranggotakan 37 orang yang dipilih karena mereka mendukung integrasi, memilih integrasi ke dalam Republik Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 17 Juli 1976 Daerah Tingkat I Timor Timur dibentuk, menyusul dikeluarkannya Undang-undang No. 7 1976 tentang penyatuan Timor Timur dengan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi propinsi ke-27 secara resmi dan menjadi bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat.

Pencaplokan Timor Portugis- yang sebagian besar penduduknya beragama Katolik- mengisyaratkan permulaan kampanye integrasi yang kejam. Banyak organisasi dunia, misalnya Amnesty International, memperkirakan bahwa sebanyak 100.000 orang Timor Portugis terbunuh oleh pihak keamanan. Kesimpulan ini dipertegas oleh Laporan Dunn (yang ditulis diplomat Australia yang dulu, James Dunn) yang mengatakan hampir 15 persen penduduk Timor Portugis dibunuh. Setelah Timor Portugis dikuasai Indonesia, dengan proses integrasi tetapi tetap akan menjatuhkan reputasi Indonesia di mata dunia.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Timor Portugis memang akan menjadi perhatian negara-negara lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyesalkan penyerbuan Indonesia ke Timor Timur dan proses integrasi tersebut, tidak diakui oleh bahkan PBB tetapi menganggap Timor Timur masih sebagai jajahan Portugis. Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi-resolusi resmi yang mengutuk tindakan baik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) maupun pemerintah Indonesia, dan kekerasan yang terus terjadi. Portugal tidak memberi realitas yang jelas, Portugal hanya berealitas sekitar bagaimana menjawab penggabungan Timor Portugis dengan Indonesia. Jawaban Portugis yang pertama adalah memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Akan tetapi, selama tahun akhir tujuh puluhan dan permulaan delapan puluhan pemerintah Portugis harus memutuskan apakah meneruskan pendirian kuat menentang penyerbuannya. Akan tetapi sebelum akhir delapan puluhan pemerintah Portugis sudah menjelaskan pendirian terhadap Timor Timur dan menaikkan tekanan terhadap PBB dan Indonesia untuk membolehkan pemutusan nasib sendiri.

Meskipun penghukuman PBB yang berulang-ulang integrasi Timor Portugis ke dalam Republik Indonesia didukung secara mutlak oleh negara-negara yang terpenting- AS dan Australia. Waktu kemerdekaan dinyatakan Fretilin pada tanggal 28 Nopember 1975, Timor Leste tidak diakui Indonesia, Portugal Australia atau AS. Kekurangan pengakuan ini dimaksud oleh pemerintah Indonesia sebagai tanda bahwa negara-negara ini mendukung integrasi Timor dengan Indonesia. Indonesia memaklumi sokongan AS dan Australia karena negara-negara ini mampu mengancam Indonesia dengan penyerbuan yang untuk melindungi kemerdekaan Timor Leste. Sebaliknya, Australia, dan terutama AS, tidak mau menjadi terlibat dalam soal Timor Timur. Demikian juga Indonesia tidak mau membuat marah Australia dan AS. Bahkan rencana untuk integrasi diubahkan supaya penyerbuan tidak bertepatan dengan kunjungan resmi Presiden AS Gerald Ford dan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger ke Jakarta. Ternyata sementara kunjungan ini Kissinger menyetujui untuk penyerbuannya. Akan tetapi Kissinger menanyakan penyerbuan diselesaikan dalam secara cepat dan efisien, dan tanpa penggunaan bantuan dari Amerika.

Ada bermacam-macam alasan untuk bantuan Amerika, dan Australia juga. Pertama soal kemerdekaan Timor Portugis yang timbul sejak zaman Perang Dingin, dan ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap reaksi-reaksi AS dan Australia. AS dan Australia baru menarik kembali pasukan-pasukannya dari Vietnam. Perang Vietnam sangat kejam dan pasukan-pasukan AS dan Australia menderita banyak korban. Akan tetapi AS tidak berhasil di Perang Vietnam dan Vietnam dikuasai pemerintah komunis. Oleh karena itu, waktu pemerintah Indonesia menggambarkan Fretilin sebagai partai politik yang komunis, AS menjadi sangat khawatir karena kalau Fretilin menguasai Timor Portugis berada satu negara lagi yang komunis dalam wilayah Asia.

Rezim Suharto memiliki sejarah panjang anti-komunisme. Pada tahun 1965 kudeta terjadi yang dipimpin perwira-perwira tentara. Menurut Suharto, perwira-perwira tentara ini bersama Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kudetanya dipadamkan Jenderal Suharto. Waktu Jend. Suharto menggantikan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia Suharto dan pemerintahnya melarang PKI dan menindas komunisme di seluruh Indonesia. Sebagai akibat Pemerintah Suharto disokong Australia dan AS karena Indonesia menjadi bersekutu yang kuat dengan mereka dalam wilayah Asia. Pemerintah Suharto juga menyebabkan keamanan Indonesia untuk membantu dengan sistem-sistem ekonomik dan keamanan Barat. Oleh karena itu AS, dan Australia, memutuskan bahwa hubungan yang baik dan bersahabat dengan Indonesia lebih penting daripada proses dekolonisasi yang adil atau dukungan untuk menarik diri. Hak untuk memutuskan nasib sendiri untuk Timor Portugis diabaikan karena negara-negara Barat memerlukan sekutu anti-komunisme yang kuat dalam wilayah.

Dukungan Australia untuk Timor Portugis integrasi dalam Republik Indonesia dilembutkan kematian lima (5) wartawan Australia di Timor Portugis. Pada bulan Oktober 1975 wartawan-wartawan Australia dibunuh dalam kekerasan antara Fretilin dan gabungan UDT-Apodeti-Kota. Akhir Nopember 1975 Duta Besar Australia Richard Woolcott diberitahukan, dalam secara resmi, Kepala Bakin Letnan Jenderal Yoga Sugama bahwa mayat-mayat lima (5) wartawan Australia diketemukan di Balibo. Menurut surat resmi ditulis Presidium Apodeti D. Guilhermo Maria Gonvalces lima belas (15) pendukung Fretilin terbunuh dalam peperangan pada tanggal 22 Oktober, dan ada empat (4) mayat yang kulit putih. Kemudian, partol Apodeti menemukan dua (2) mayat di daerah pinggiran Balibo. Sebuah mayat kulit putih dan mempunyai dokumen-dokumen dan kamera. Walaupun tidak ada bukti yang meyakinkan, dipercaya mayat-mayat ini dimiliki lima (5) wartawan Australia. Reaksi masyarakat Australia terhadap kematian ini melembutkan dukungan untuk Indonesia, karena kematian terjadi dalam keadaan yang kurang jelas. Banyak orang Australia mendukung tuntutan Fretilin untuk kemerdekaan, dan ada orang Australia di Timor Portugis yang mencoba-coba untuk melembutkan tuntutan Indonesia untuk integrasi. Dan ada pendapat lain, yang mungkin lebih dapat dipercaya, yang menyarahkan wartawan Australia dibunuh tentara Indonesia.
IV. Insiden Dili

Selama era tahun-tahun delapan puluhan Timor Timur dan masalahnya tidak menganggap masalah untuk kebanyakan orang Indonesia. Ini terjadi karena media massa Indonesia mengikuti peranan pemerintah Indonesia dan tidak membahas soal Timor Timur. Saat itu Timor Timur sudah menjadi bagian Republik Indonesia- propinsi ke-27. Akan tetapi, di mata banyak negara-negara, termasuk Australia, soal Timor Timur jauh dari penyelesaian. Kekerasan di Timor Timur terus karena perlawanan Fretilin terus. Tentara Indonesia menetapkan strategi fence of legs- yang memaksa orang Timor Timor untuk berjalan kaki di depan pasukan Indonesia yang mendekati posisi Fretilin supaya pasukan Fretilin tidak bisa menembak pasukan Indonesia tanpa melukai orang Timor Timur. Ada perkiraan bahwa lebih daripada seratus ribu (100.000) orang Timor Timur meninggal antara tahun 1976 dan tahun 1980 sebagai akibat tindakan militer, kelaparan dan keadaan sakit.

Akan tetapi di bawah penguasaan Indonesia keadaan di Timor Timur diperbaiki juga, khususnya selama tahun delapan puluhan. Pemerintah Indonesia membangun banyak sekolah, gereja dan rumah sakit. Lagi pula, pemerintah Indonesia juga mengaspal berberapa jalan di Timor Timur. Selama penguasa Indonesia pendapatan rata-rata tiap orang Timor Timur dinaikkan sampai US$200 pada tahun 1990. Ini masih kurang separo pendapatan rata-rata tiap orang Indonesia tetapi lima kali sebanyak dibanding pendapatan di akhir penguasaan Portugal. Di sisi lain, laporan pemerintah berada yang menyatakan di tujuh puluh lima persen (75%) enam puluh satu (61) Daerah di Timor Timur lebih daripada separo penduduk hidup dalam kemiskinan.

Ketegangan menjadi gawat pada tahun 1991 waktu Insiden Dili, juga dikenal sebagai Pembunuhan Besar-besaran Dili, terjadi. Ada tiga (3) sebab kejadian Insiden Dili. Pertama, ada pembukaan Timor Timur pada tahun 1988. Sebelum tahun 1988 perjalanan ke Timor Timur terbatas. Orang-orang yang mau berjalan ke Timor Timur harus ke menerima izin khusus dari pemerintah, dan izin ini sering ditolak. Lagi pula taktik Fretilin mengubah juga. Sebelumnya taktik Fretilin termasuk terutama perlawanan yang bersenjata. Akan tetapi, taktik Fretilin mengubah dari bersenjata ke provokasi dan politik. Akhirnya undangan untuk perutusan parlemen Portugis untuk mengelilingi Timor Timur. Akan tetapi kunjungan dibatalkan, dan ini pembatalan mencetuskan kerusuhan untuk baik gerakan pro-integrasi maupun gerak anti-integrasi.

Perusuhan terjadi di depan Gereja Santo Antonio de Motael di Dili dan selama konfrontasi dua pemrotes terbunuh; Sebastio Gomes Rangel (pemuda anti-integrasi) dan Afonso Henriques (pemuda pro-integrasi). Misa peringatan untuk Sebastio Gomes Rangel dilakukan pada tanggal 12 Nopember 1991. Setelah misa sudah selesai du ribu lima ratus (2500) orang Timor Timur berarak ke Makam Santa Cruz. Prosesinya menjadi demostrasi anti-integrasi di Makam Santa Cruz. Demostrasi adalah ramai sekaligus damai; tidak ada kekerasan. Lalu pasukan Indonesia melepaskan tembakan kepada pemerotes-pemerotes. Sebagai akibat dua ratus tujuh puluh satu (271) orang dibunuh, dua ratus tujuh puluh delapan (278) orang diluka dan dua ratus tujuh puluh (270) orang hilang. Ada laporan yang menyatakan 271 korban dibunuh bukan saja sebagai akibat tembak dan kekacau-balauan yang menemani, melainkan juga sebagai akibat pasukan Indonesia menusuk dengan bayonet orang yang sudah dilukai.

Walaupun ada tuntutan bahwa lebih dari insiden ini terjadi di Timor Timur selama penguasaan Indonesia, Insiden Dili mendapat banyak perhatian dari seluruh dunia karena jurnalis-jurnalis internasional mampu memfilmkan dan mengambil foto-foto insiden dan warganegara dari negara lain diluka juga. Insiden ini juga menyebabkan fokus dunia untuk mengalihkan pada perjuangan kemerdekaan Timor Timur dan masalah yang mereka alami. Ali Alatas, Menlu Indonesia yang dulu, mengakui Insiden Dili adalah turning point yang memulai proses kemerdekaan di Timor Timur.
Insiden Dili juga mempunyai dampak-dampak lain terhadap hubungan Indonesia yang lain. Misalnya, AS membatasi penjualan senjata-senjata AS pada Indonesia dan bantuan militer lain. Insidennya juga menyebabkan Indonesia untuk mungubah kebijaksanaan militer di Timor Timur, dalam cobaan untuk mengurangi kecaman internasional. Brigadir Jenderal R.S. Warouw digantikan Brigjen Theo Syafei dan Mayor Jenderal Sintong Panjaitan digantikan Mayjen Leopold Mantiri.
V. Kemerdekaan menjadi kemungkin

Perjuangan rakyat Timor Timur disoroti lagi pada tahun 1996 waktu 2 tokoh Timor Timur, Jose Ramos-Horta dan Uskup Carlos Filipe Ximenes menerima hadiah Nobel. Mereka dapat hadiah Nobel atas ‘karya mereka untuk suatu penyelesaian tepat dan damai mengenai penentangan di Timor [Leste]’. Uskup Belo dapat hadiah untuk menyebabkan pemerintah Indonesia untuk memeriksa pembunuhan yang terjadi selama Insiden Dili pada tahun 1991. Pada sisi lain, Ramos-Horta dapat hadiah karena dia jubir internasional yang terkenal untuk perjuangan kemerdekaan Timor Timur.

Sepanjang akhir tahun sembilan puluhan Indonesia mengalam perubahan besar dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Pertama pada tahun 1997 dan 1998 ekonomi Indonesia runtuh selama Krisis Moneter Asia (KrisMon). Sebagai akibat, banyak kerusuhan terjadi yang menuntut Presiden Suharto mengundurkan diri. Akhirnya Presiden Suharto memang mengundurkan diri dan proses demokratisasi dimulai. Presiden sementara B.J. Habibie mempunyai pengaruh besar terhadap proses kemerdekaan Timor Timur.

Presiden Habibie mengherankan seluruh dunia waktu, pada tahun 1999, dia mengumumkan dia akan menawari kesempatan untuk otonomi penuh kepada rakyat Timor Timur. Di bawah proposal Habibie pemerintah di Jakarta bertangganung jawab hanya untuk kebijaksanaan luar negeri, menjaga musuh dari penyerbuan oleh negeri asing, dan masalah keuangan. Banyak ahli Indonesia perpercaya bahwa pengumuman ini adalah jawaban Presiden Habibie atas tekanan internasional. Sampai tingkat tertentu ahli-ahli benar. Sebagai akibat KrisMon, pemerintah Indonesia masih mengandalkan negara-negara Barat, dan Jepang, untuk merekonstruksi ekonomi Indonesia. Oleh karena itu Indonesia terpaksa untuk berkompromi soal lain juga, termasuk pendiriannya terhadap Timor Timur.

Proposal Habibie merupakan otonomi luas di mana Jakarta bertanggung jawab untuk hanya tiga (3) bidang; urusan hubungan luar negeri, pertahanan terhadap luar, dan aspek kebijaksanaan moneter dan fiskil. Dalam bulan Agustus Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia dan Portugal bertemu untuk pembicaraan mendalam mengenai masa depan Timor Timur. Akan tetapi kedua pihak masih mengalami perbedaan pendapat. Indonesia menganggap pelaksanaan otonomi luas di Timor Timur sebagai penyelesaian akhir masalah sementara Portugal melihat otonomi luas sebagai langkah pertama dalam proses kemerdekaan Timor Timur.

Perjanjian Habibie, yang mendadak, mengganggu banyak pemimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena menurut pendapat mereka jika Timor Timur bisa terpisah dari Indonesia mengakibatkan kerugian terhadap persatuan Republik Indonesia. Walaupun demikian, pemerintah Habibie merekomendasikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membatalkan undang-undang 1976 yang mengintegrasi Timor Timur dengan Indonesia. Perjanjian Habibie menganjurkan banyak lawan di baik Indonesia maupun Timor Timur. Banyak orang Indonesia berpendapat sama pemimpin TNI yakni, persatuan Republik Indonesia diancam jika Timor Timur merdeka. Lagi pula, orang Timor Timur percaya bahwa masa depan Timor Timur bergantung pada Indonesia.

Meskipun lawanan ini proses penyelesaian soal Timor Timur diteruskan. Awal tahun 1999 banyak pertemuan terjadi di New York. Pertemuan terjadi pada tanggal 7 Februari 1999 sampai 8 Februari, dan dihadiri Menlu Portugal Jaime Gama dan Menlu Indonesia Ali Alatas. Akan tetapi, mereka tidak bisa menyetujui apakah otonomi yang menawarkan adalah penyelesaian akhir atau tindakan sementara. Kemudian ada pertemuan lagi, pada tanggal 10 Maret sampai 11 Maret di New York yang diputuskan semua orang Timor Timur (yang masih tinggal di Timor Timur dan yang sudah di luar Timor Timur) mendapat kesempatan untuk memberikan suara untuk menerima atau menolak otonomi yang menawarkan.

Dengan kemungkinan otonomi luas atau kemerdekaan lengkap menjadi makin nyata, keadaan di Timor Timur menjadi makin penuh harapan. Bagaimanapun, insiden-insiden terjadi yang melembutkan perasaan harapan. Misalnya, pada masa antara 6 April 1999 dan 17 April, sedikit-dikitnya tiga puluh delapan (38) orang terbunuh. Pada tanggal 6 April milisia pro-integrasi membunuhkan dua puluh lima (25) orang yang menghadiri upacara di gereja di Liquica. Sebelas (11) hari kemudian lebih dari tigabelas (13) orang, yang berlindung di dalam rumah pemimpin pro-merdeka Manueal Carrascalao di Dili, dibunuh milisia pro-integrasi.

Akan tetapi pertemuan terahkir dalam New York, antara tanggal 21 dan 23 April 1999 menyusun perjanjian tentang masa depan Timor Timur. Perjanjian in ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1999 (lihat Lampiran 2). Ada dua pasal yang sangat penting; Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 menyatakan jika proposal diterima ‘pihak Indonesia harus memulai tindakan konstitutional yang diperlukan untuk implementasi kerangka kerja otonomi’. Lagi pula pihak Portugal juga harus memulai proses ‘yang perlu untuk menghapus Timor Lorosae dari daftar Teritorial yang tidak berada di bawah pemerintahan sendiri dari Majelis Umum PBB, dengan demikian mencabut masalah Timor Lorosae dari agenda internasional’. Pasal 6 menetapkan bahwa jika otonomi ditolak Indonesia harus memulai tindakan konstitutional untuk mengakhiri kaitannya dengan Timor Leste. Indonesia dan Portugal, serta Sekretaris Jenderal PBB menyetujui cara untuk pengalihan kekuasaan yang damai. Selanjutnya Perjanjian 5 Mei menetapkan bahwa Indonesia bertanggungjawab untuk keamanan Timor Timur karena PBB tidak memaui mengambil alih jajak pendapat karena keamanan stafnya tidak bisa dijamin. Menurut rencana jajak pendapat terjadi 30 Augustus 1999. Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan ini dijawab dalam secara jelas, ‘Apakah anda menerima otonomi khusus yang diusulkan bagi Timor Lorosae dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia?’ atau ‘Apakah anda menolak otonomi khusus yang disarankan untuk Timor Lorosae, yang menjurus pada permisahan Timor Lorosae dari Indonesia?’
VI. Mimpi Timor Leste Terkabul

Pada tanggal 30 Augustus 1999 rakyat Timor Timur mempunyai kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Ada ragu-ragu ataukah banyak orang memberikan suara atau tidak. Selama hari-hari sebelum jajak pendapat kelompok/milisia pro-Indonesia melakukan kampanye teror supaya mencegah rakyat Timor Timur dari memberikan suara untuk menolak otonomi khusus. Bagaimanapun, pada tanggal 30 Augustus ribuan orang Timor Timur mengatasi ketakutan dan ancaman kekerasan dan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suara untuk menerima atau menolak otonomi khusus. 98.6% orang Timor Timur, yang memenuhi syarat dan diregistrasi, memberikan suara. Hasilnya diluar dugaan- 78.5% suara menolak otonomi khusus dan menerima kemerdekaan.

Dalam Perjanjian tersebut dulu pemerintah Indonesia menerima tanggungjawab untuk keamanan Timor Timur. Akan tetapi, waktu hasil menjadi jelas- bahwa rakyat Timor Timur menolak otonomi khusus dalam Republik Indonesia- kekerasan meletus lagi. Ada bukti dan laporan yang terpercaya yang menyatakan elemen TNI terlibat. Semua pihak mengakui bahwa sekalipun TNI tidak terlibat, mereka tidak bisa atau tidak mau menghentikan kekerasan. Sungguhpun tentara Indonesia tidak bisa menghentikan kekerasan, pemerintah Indonesia tidak membolehkan tentara asing, termasuk tentara PBB, masuk Timor Timur untuk memulihkan hukum dan tatatertib.

Setelah kekerasan di Timor Timur berjalan, reaksi dunia berubah. Mula-mula, negara-negara Barat enggan untuk mencampuri keadaan di Timor Timur. Lalu pemerintah AS menghentikan semua penjualan senjata dan hubungannya militer dengan Indonesia. Ada tanda-tanda bahwa pemerintah AS juga mau melaksanakan sanksi ekonomis terhadap Indonesia. Selanjutnya, setelah pemungutan suara, setidaknya enam (6) personil lokal UNAMET (United Nations Mission in East Timor/ Misi PBB di Timor Lorosae) terbunuh dalam kekerasan yang dijalankan. Oleh karena keamanan personil UNAMET, baik lokal dan internasional, tidak bisa dijamin Wakil Khusus Ian Martin merekomendasi evakuasi seluruh staf UNAMET ke Darwin. Dan dengan bantuan Australian Defense Force (ADF) kebanyakan stafnya dievakuasi.

Akhirnya, pada tanggal 12 Septmeber Presiden Habibie mengubah pendirian dan membolehkan pasukan internasional untuk mengakhiri keadaan di Timor Timur. Di bawah permimpinan PBB INTERFET (International Force in East Timor/ Pasukan Internasional di Timor Lorosae) didirikan untuk memulihkan pendamaian dan menghentikan kekerasan. Supaya INTERFET bisa mempunyai kuasa yang lengkap, TNI harus mengundurkan diri ke Timor Barat. Akhrinya INTERFET memulihkan stabilitas ke Timor Leste dan proses kemerdekaan dijalankan. Dalam Perjanjian 5 Mei Indonesia dan Portugal menyetujui untuk cara pengalihan kuasa. Pertama, UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor/ Administrasi Transis PBB di Timor Lorosae) memangku kendali untuk administrasi di Timor Leste. UNTAET dibentuk resolusi Dewan Keamanan 1272, pada tanggal 25 Oktober 1999, sebagai pemerintah sementara sistem hukum dan sistem pemerintahan dibentuk. Langkah kedua memulai tanggal 30 Mei 2000 waktu pemerintah Timor Leste merupakan gabungan antara UNTAET dan warga Timor Leste. Selama masa ini rakyat Timor Leste menyiapkan untuk mengambil kendali dalam secara penuh, pemilu Presiden dan pemilu Majelis Permusyawaratan Nasional dijadikan. Akhirnya, Timor Leste menjadi negara benar- pemerintah sendiri yang lengkap- pada tanggal 20 Mei 2002. Tanggal ini menjadi akhir masa penderitaan untuk rakyat Timor Leste.

Kontribusi Australia dalam Proses Kemerdekaan Timor Leste

Selama hampir perempat abad Australia jadi salah satu negara yang mendukung integrasi Timor Portugis dengan Indonesia. Selama tahun 1974 dan 1975 Perdana Menteri Australia Gough Whitlam dan pemerintahnya mendukung integrasi Timor Portugis dalam Republik Indonesia. PM Whitlam mengumumkan kebijaksanaan non-intervensi terhadap soal Timor Portugis. Itu dikatakan, PM Whitlam menguraikan bahwa Timor Portugis merdeka yang mendukung Barat adalah alternatif lebih enak. Meskipun sekarang ada bukti yang memperlihatkan Whitlam tidak berunding dengan kebinetnya, PM Whitlam menyetujui dengan integrasi, akan tetapi cara yang integrasi terjadi. Pendapatnya berdasar percayaan bahwa Timor Timur, sebagai negara merdeka, tidak dapat berjalan karena Timor Portugis terlalu kecil dan tidak ada ekonomi kuat. Saat itu Dubes Australia di Jakarta Richard Woolcott menulis laporan yang menjelaskan alasan untuk putusan. Misalnya oleh mengakui integrasi Timor Timur memperbaiki hubungan Australia dengan Indonesia karena itu membuktikan paham mendalam masalah internal Indonesia. Jika tidak ada perseujuan bersama tentang soal Timor Timur antara menteri-menteri kebijaksanaan bisa diganti. Bahkan empat Perdana Menteri Australia yansebagai propinsi Indonesia. Namun maupun kebijaksanaan pengakuan rakyat Australia dan kadang pemerintah juga, menyatakan pencelaan terhadap kekerasan yang dijalankan di Timor Timur. Pencelaan ini dicerminkan perubahan kebijaksanaan yang terjadi pada tahun 1998. Sampai tingkatan tertentu perubahan terjadi karena peristiwa dalam luar Indonesia. Waktu Presiden Suharto memundurkan diri dalam akhir tahun 1998 pintu untuk perubahan dibuka. Survei rahasia tentang pendapat orang-orang Timor, baik dalam Timor Timur dan keluar Timor Timur, terhadap masa depan ‘negara’nya dilakukan pemerintah Australia pada bulan Juli 1998. Dahulunya, pemerintah Australia menyatakan bahwa tidak ada dukungan populer untuk kemerdekaan. Hasil surveinya mempertunjukkan pendapat rakyat Timor Timur sudah mengubah. Saat itu dukungan populer sudah kuat dan terus menambah. Perubahan kebijaksanaan ini mencapai puncak waktu PM Howard mengirimkan surat yang menguraikan pendekatan ke soal Timor Timur yang berbeda kepada Presiden Habibie dalam bulan Desember. Surat ini menggambarkan proposal untuk otonomi khusus untuk Timor Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, peranan Australia yang langsung dalam proses kemerdekaan Timor Timur menambah dengan konperensi tingkat tinggi antara Howard dan presiden Habibie di Bali pada bulan April 1998. Di konporensi ini Presiden Habibie menyetujui unutk membolehkan jajak pendapat tentang masa depan Timor Timur. Lalu, pada tanggal 27 Januari 1999, Indonesia mengumumkan dalam secara resmi berikutnya, Malcolm Fraser, Bob Hawke, Paul Keating dan pun John Howard, mengakui Timor Timur bahwa jajak pendapat terhadap masa depan Timor Timur terjadi. Selama saat perundingan Australia memainkan peranan yang kedua langsung dan individu. Masalah ditimbulkan setelah hasil jajak pendapat diumumkan. Sebagai akibat kerkerasan yang terjadi di Timor Timur masyarakat dunia terpaksa untuk mencampuri. Australia memainkan peranan besar dalam setiap langkah intervensi PBB. Langkah pertama adalah UNAMET, misi PBB yang menyelerangkan jajak pendapat. UNAMET beranggota dari seluruh dunia akan tetapi warga negara Australia merupakan bagain besar. Lagi pula waktu staf PBB harus dievakuasasi, mereka dievakuasasi ke Darwin, di Territori Utara, Australia, dan naik pesawat Australia Defence Force (ADF).

Kontribusi Australia dalam proses kemerdekaan Timor Leste ditambah lagi waktu keadaan dalam Timor Timur diburuk setelah hasil yang mendukung kemerdekaan diumumkan. Meskipun jaminan Indonesia untuk melindungi keamanan di Timor Timur milisia-milisia menterorkan masyarakat Timor Timur dan staf PBB. Akibatnya INTERFET dibentuk PBB dengan pemimpinan Australia. Untuk pasukan dibolehkan untuk masuk Timor Timur harus menjadi pasukan multinasional karena pasukan Australia saja atau tindakan unilateral Australia dianggap tindakan perang.

Dalam kapasitas ini Australia memainkan peranan besar. Sebagai negara paling maju dan kuat dalam wilayah, tanggung jawab diberikan kepada Australia untuk merupakan inti pasukan dan logistis INTERFET. Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1264 yang ditetapkan pada tanggal 15 September 1999 menyetujui pasukan multinasional yang dipimpin oleh Australia, dan kebanyakan pasukan berasal dari Australia. Pada awal, diharapkan Australia menyumbang kira-kira 1500 pasukan. Biarpun dengan keadaan makin buruk kebutuhan pasukan makin menambah. 4500 pasukan disumbang Australia dalam kerangka INTERFET. 15,000 pasukan Australia lagi disumbang untuk pasukan penjaga pendamaian. Penyerban pasukan penjaga perdamaian INTERFET adalah kali perama pasukan Australia dan pasukan Indonesia berhadapan muka dalam keadaan bermusuhan. Bahkan, dulu pasukan Australia dan pasukan Indonesia berlatih bersama. Selanjutnya, sementara zaman Suharto banyak pertukaran antara komandan dan tentara biasa dari Australia ke Indonesia dan sebaliknya.

Dalam secara finansil Australia menyumbang sebagian besar dana internasional. Bantuan Berperikemanusiaan, pada tahun 1999 dan 2000 berjumlah A$81 juta. A$150 juta lagi melalui 4 tahun, sebagai bantuan bilateral, dijanjikan pemerintah Australia. Dalam tahun pertama ongkos Pasukan Penjaga Pendamaian untuk Australia berjumlah AS$550 juta. Antara permulaan operasi Penjaga Pendamaian sampai akhir tahun 2001 kontibusi Australia pada operasi tersebut berjumlah A$1,4 milyar.

Kontribusi Australia ini yang tersebut adlah kontribusi resmi. Walaupun ada pandangan bahwa Australia menyumbang proses kemerdekaan Timor Leste dalam secara yang tidak resmi juga. Pandangan ini yang menimublkan tekanan dan masalah serius antara Australia dan Indonesia. Setiap kecaman peranan Indonesia di Timor Timur dinafsirkan sebagai dukungan untuk kemerdekaan. Bahkan pada saat integrasi Timor Portugis ke dalam Republik Indonesiapendapat rakyat Australia tidak menyetujui kebijkan dan tindakan pemerintah Australia. Sebagai akibat banyak orang Australia memang menyokong perjuangan kemerdekaan Timor Leste dalam secara pribadi. Fretilin menyedot dukungan dari banyak kelompok dalam masyarakat Australia. Pertama, 20,000 warganegara Timor Timur tinggal di Australia dan walaupun tidak semua mendukung gerakan merdeka, sebagain terbesar menyokong kemerdekaan. Selanjutnya banyak tokoh Fretilin juga tinggal di Australia. Kedua, selain warganegara Timor Timur, Fretilin juga disokong bagain Partai Buruh Australia yang setuju dengan perjuang dan ideologi Fretilin. Ketiga, kaum hukum percaya penyerbuan Indonesia di Timor Timur tidak sah menurut hukum internasional. Ini bisa dianggap sebagai sokongan untuk Timor Timur.

Akan tetapi, mungkin kelompok terpenting adalah yang mengingat bantuan orang Timor Timur untuk pasukan Australia dalam Perang Dunia II. Biasanya, kelompok ini bisa memperhitungkan untuk mendokong pendirian pemerintah lawan komunisme di wilayah dan oleh karena itu pendirian terhadap Timor Timur juga. Akan tetapi hubungan emosionil berada antara masyarakat Timor Timur dan masyarakat Australia. Selama PDII masyarakat Timor Timur memainkan peranan penting dalam penaklukan pasukan Jepang. Perasaan mateship masih berada antara kedua masyarakat. Oleh karena itu bagain besar masyarakat Australia merasa wajib untuk menolong masyarakat Timor Timur dalam perjuangnya untuk kemerdekaan.

Pemerintah Australia juga membolehkan pembangunan pemancar siaran-siaran radio Fretilin di Darwin. Lagi puli, Kampanye untuk Timor Leste Merdeka (Campaign for an Independent East Timor- CIET) juga mempunyai pemancar penyambung di Sydeny yang digunakan untuk menghubungi markas besar PBB di New York dan markas besar Fretili di Mozambique. Sebab pemerintah Australia tidak melarang pembangunan ini dipahami Indonesia sebagai dukung yang tidak diucapkan untuk gerakan merdeka Timor Leste.

Selain kontribusi masyarakat Australia, kontribusi Australia dalam kerangka PBB juga mempunyai sisi resmi dan sisi yang tidak resmi. Kontribusi Australia sendiri dalam intervensi PBB lebih besar daripada negara lain. Dalam buku Hari-hari Terakhir Timor Timur ditulis oleh Makarim, Kairupan, Sugiyanto dan Fatah, pendapat ini bisa dilihat. Menurut penulis-penulis misi PBB tidak netral, dan karena sebagain besar misi PBB asal Australia, orang Australia misa memanipulasi proses jajak pendapat. Misalnya, staf PBB asal Australia menunjukkan ‘cenderung partisan memihak kelompok antiintegrasi’. Lagi pula, kontribusi Australia, personel dan peralatannya, adalah sangat ingin dan sangat besar. Ini tampak terjadi bukan saja untuk demi UNAMET dan masyarakat Timor Timur, melainkan juga kepentingan lebih besar seperti sumber-sumber alam, sekutuan dengan AS dan status Australia dalam wilayah. Selanjutnya, penuli-penulis juga mencatat bahwa, pertama, penjabat Australia mengujungi Dili lebih sering daripada ‘negara sahabat’ yang lain. Kedua, Atase Pertahanan Australia memiliki ‘pos’ di Dili walaupun pemerintah Indonesia minta Australia bersabar dan menunggu untuk hasil jajak pendapat. Australia sudan mengubah dari negara sahabat ke negara musuh yang mencampuri dalam soal Timor Timur. Menurut penulis-penulis Australia mengorbankan hubungannya dengan Indonesia ‘hanya karena masalah Timor Timur’.

Menurut pandangannya sukarelawan PBB yang asal Australia juga memanfaatkan posisinya sebagai staf PBB untuk menolong kelompok antiintegrasi oleh penyelundupan senjata, obat dan peralatan bagi Fretilin dan kelompok antiintegrasi lain. Ternyata ini dilakukan lewat penerbangan gelap, yakni penerbangan yang tidak resmi.

Selanjutnya, beberapa wartawan Australia dideportasi pemerintah Indonesia karena mereka usaha mempengaruhi para pemilih di Timor Timur. Lalu, tiga turis Australia juga dideportasi karena mereka kedapatan membawa dan menyebarkan kartu suara yang suda dilubangi. Yakni, kartu suara itu sudah dilubangi untuk menolak otonomi dan tidak membolehkan penduduk Timor Timur untuk memberi suara sendiri.

Dan ternyata kartu suara itu deterlibatkan oleh dau warganegara Australia. Warganegara Australia yang lain juga meliputi keadaan yang tidak sopan dan tidak netral.

Mengingat peritiwa-peristiwa ini knotribusi Australia dalam proses kemerdekaan Timor Leste memiliki dua tingkatan; satu yang resmi dan stau yang tidak resmi. Pastilah tindakan yang tidak resmi lebih menghasut karena biasanya itu tidak diakui dan lebih sulit untuk dilarang. Bagaimanapun, kedua tingkatan kontribusi Australia dilihat Indonesia sebagai penkhianatan oleh teman akrab. Australia mau mengorbankan hubungan sahabat dengan Indonesia untuk kepentingan yang lebih besar.


Abstrak
Republik Demokratik Timor Leste (juga disebut Timor Lorosa'e), yang sebelum merdeka bernama Timor Timur, adalah sebuah negara kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor. Selain itu wilayah negara ini juga meliputi pulau Kambing atau Atauro, Jaco, dan enklave Oecussi-Ambeno di Timor Barat. Sebagai sebuah negara sempalan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Timor Leste secara resmi merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Sebelumnya bernama Provinsi Timor Timur, ketika menjadi anggota PBB, mereka memutuskan untuk memakai nama Portugis "Timor-Leste" sebagai nama resmi negara mereka.
Pada tahun 1975, perkembangan politik di Timtim mengalami keadaan yang paling kritis dengan adanya tindakan sepihak dari Fretilin, dengan melakukan proklamasi kemerdekaan 25 November 1975. Namun partai lain seperti menandingi proklamasi “ integrasi” yang isinya ingin bergabung dengan Indonesia, dan ahkirnya Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur serta dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan RI. Proses integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30 November 1975. Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim bagi pemerintah Indonesia. Namun pada ahkirnya persaudaran itu hanya berlangsung 23 tahun, yang disebabkan timbulnya perbedaan keinginan antara pemerintah Indonesia dengan Fretilin yang mengklaim sebgai pemerintahan.
Kata kunci : Fretilin, Integrasi, Politik.


A. Pendahuluan
Masalah pelepasan Timor Timur (Timtim) dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara baru Republica Democratia de Timor Leste (RDTL) membawa permasalahan baru dalam bidang kewarganegaraan. Negara Timor Leste dulunya merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia, sebagai propinsi termuda. Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur serta dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan RI. Proses integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30 November 1975. Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim bagi pemerintah Indonesia.
Namun dengan adanya penyatuan ini, tidak berarti semuanya akan terlaksana dengan baik. Status Timor Timur selalu dipermasalahkan, sehingga Sekjend PBB selalu memprakarsai untuk mengadakan pembicaraan bertiga (tripartie talks) yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri Portugal dalam mencari suatu penyelesaian masalah di Timor Timur secara adil, menyeluruh dan diterima secara internasional. Namun dalam forum tersebut, tidak banyak diperoleh kemajuan karena masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikapnya masing-masing.
Indonesia di satu pihak telah menolak pembicaraan di forum itu dengan mengaitkan resolusi-resolusi tentang Timor Timur yang ada. Di lain pihak, Portugal selalu menekankan perlunya segera dilaksanakan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi warga negara Timor Timur.Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1998. Negara Indonesia mengalami gejolak sosial politik yang menyebabkan Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenannya setelah selama 32 tahun menguasai negeri ini. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden diangkat secara sepihak oleh Soeharto untuk meneruskan jabatan presiden RI dimasa transisi dan penuh kritis itu.
Salah satu kebijakan politis Habibie yang sangat kontroversial dan fenomenal pada waktu itu adalah memberikan dua opsi atau pilihan kepada rakyat Timor Timur yakni referendum atau otonomi khusus.Rakyat Timor Timur memilih jalan referendum untuk menentukan nasib masa depan mereka. Maka pada tanggal 30 Agustus 1999, Misi PBB UNAMET (United Nation Mission for East Timor) mengadakan jajak pendapat (referendum), dengan opsi tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih lepas dari Indonesia.

B. FRETILIN Sebagai Pemerintahan
Pada saat portugis mundur, Fretilin langsung meduduki pemerintahan yang ditinggalakan oleh Portugis dan mengalahkan UDT. Kemenangan Feretilin yang relative cepat atas UDT setelah adanya keputusan dari sebagian besar anggota angkatan bersenjata untuk memihak Fretilin itu berpengaruh besar pada struktur internal front ini pada bagaimana merorgainsaikan diri sebagai pemerintahan. Masuknya orang militer dalam Fretilin menyebabkan pergeseran politik dan ideology. Para pemimpin militer berkeinginan mempertahankan orgainsasi yang bersetruktu hirarkis dan mungkin tidak menyukai gagasan demokratis yang mendasari yang mendasari restrukturisasi tentara oleh Fretilin, penghapusan pangkat dan pemberlakuan pemilihan pemimpin.
Tetapi dari segi niat mereka untuk bewrtempur demi kemerdekaan dan tidak berkompromi dengan musuh, baik itu UDT maupun Indonesia yang melakukaninvlasi, menurut para pengamat yang menyaksikan mereka sedang bertempur, orang-orang militer tidak lebih konservatif dibandingkan dengan pimpinan politik Fretilin.
Politisasi tentara dan penyiapan masyarakat oleh militer berlangsung sebgai persiapan menghadapi kemungkinan invasi oleh Indonesia dan dengan pengetahuan bahwa orang-orang Timor Lorosae pro-integrasi telah dipersenjatai dan dilatih. Fretilin punya keinginan untuk menjadikan pemerintahan tetap stabil hingga colonial Portugis kembali untuk dekolonialisasi.
Didalam reorganisasi Fretilin, setelah menjalankan kekuasaan sebagai pemerintah de facto dan masuknya anggota-anggota baru dari angkatan bersenjata, Fretilin melakukan reorganisasi kecil, untuk organisasi pemerintah, bukan organisasi mobilisasi kekuatan. Meskipun para pemimpin masih menyadari perlunya mobilisasi Rakyat, tugas ini diserahkan kepada organisasi-organisasi masa, sementara anggota-anggota Komite Sentral memberi perhatian pada pembuatan keputusan sehari-hari yang meliputi pengolahan pemerintahan. Sepanjang periode ini pemerintah de facto Fretilin menghadapi dilemma dalam pembuatan kebijakan. Sementara mereka ingin secepat mungkin menjalankan kebijakan Fretilin yang telah mereka kembangkan pada masa sebelumnya, mereka menyadari mendesaknya kebutuhan untuk menciptakan kepercayaan kepada pemerintahan mereka, dan kalau mungkin mendorong Portugis untuk kembali, terutama karena hal ini bisa mencegah invasi oleh angkatan bersenjata Indonesia.
Selama dua bulan Fretilin berkuasa di Timor Lorosae, para pemimpinnya bersepakat untuk menunggu perundingan dengan Portugis atas jadwal waktu kemerdekaan. Maka pada awal November kemungkinan pernyataan kemerdekaan menjadi persoalan politik yang penting dalam Fretilin. Di dalam Fretilin ada berbagai pandangan mengenai persoalan ini.

C. Masalah Pembangunan Daerah
Sesuai dengan UU No. 7 tahun 1976, Timtim pun kemudian ditetapkan statusnya sebgai Propinsi Daerah Tingkat I, yang dipimpin oleh seorang gubernur kepala daerah. Adapun sebagai pelaksanaan UU tersebut telah dikeluarkan PP No. 19 tahun 1976 yang antara lain mengatur secara rinci tentang kedudukan dan susunan Pemerintah Daerah Tingkat I TIMtim. Propinsi muda ini terdiri dari 13 kabupaten Daerah Timgkat II, dan 16 wilayah kecamatan .
Kebijakan awal dari proses pembangunan Timtim dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama yaitu tahap rehabilitas (1976-19770, dengan sasaran utama merehabilitasi seluruh prasaraan dan sarana umum, mulai dari rumah sakit, balai pengobatan, sekolah, samapi berbagai sarana telekomunikasi serta perhubungan. Di samping itu diadakan pula program peningkatan ketermapilan bagai para pegawai, agara mereka dapat memahami system pemerintahan administrasi pemerintahan yang berlaku. Kemudian tahap kedua adalah tahap Konsolidasi (1977-1978) tahap ini ditujukan untuk melanjutkan serta meningkatkan langkah-langkah pembangunan sebelumnya, sehingga menjangkau peningkatan program-program pembangunan ekonomi rakyat, peningkatan prasarana serta sarana pendidikan, dan sebagainya. Kemudia pada tahap ketiga yaitu tahap Stabilisasi (1978-1982) dengan sasaran utama pada pemantapan serta peningkatan kemampuan dan keterampilan aparat pemerintah daerah secara menyeluruh dan terpadu. Dengan usaha-usaha tersebut diharapkan bahwa Pemda Titim siap menyongsong pembangunan pada masa itu dengan Repelita IV.
Semakin lama masalah yang dirasakan oleh masyarakat Timtim bukanlah kelompok yang anti Integrasi, tapi cenderung pada perlakuan pemerintah selam integrasi. Antara presepsi masyarakat dan pendekatan yang dilakukan pemerintah masih belum sepenuhnya sesuai. Pelaksanaan pembangunan di Timtim waktu itu memang belum tepat, dan terkesan bahwa pembangunan fisik memang maju, sementara pembangunan manusianya tertinggal.

D. Masalah Pembangunan Politik
Berdasarkan Deklarasi Rakyat Timtim yang diwakili empat partai (Apodeti, UDT, Kota dan Trabalhsita). Dibidang politik, disebutkan bahwa semua kegiatan rakyat dalam ideology, ekonomi, social, budaya dan diarahkan guna meletakan dasar-dasar sinkronisasi masyarakat demi mempercepat tercapainya integrasi rakyat Timtim ke dalam negeri RI. Timtim harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalannya dari daerah-daerah yang lain. Untuk itu, berbagai fasilitas kesejahteraan social masyarakat harus ditingkatkan. Demikian pula harus diusahakan berbagai langkah guna menyiapkan Timitm, salah satunya bidang pertanian agar membantu perekonomian mak fasilitas pertanian ditingkatkan.untuk mempercepat proses pembangunan di timtim, maka pendidikan, kesehatan, penerangan dan aneka fasilitas social lainnya perlu mendapatkan prioritas, terutama pada Repelita IV.
Rakyat timtim memiliki karakteristik yang berbeda dengan rakyat Indonesia pada umumnya. Secara fisik mereka tidak pernah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian pada waktu kemerdekaan RI tidak mengantakan bahwa Timtim bukan bagian wilayahnya karena dibawah kekuasaan Portugis.
Permasalahan Timtim sebenarnya tidak ubahnya seperti permasalahan yang dimasa lalu juga pernah dialami oleh provinsi di Indonesia yang lain. Dalam proses integrasi, muncul aneka permasalahan yaitu salahsatunya bersumber dari factor perbedaaan sejarah dan proses integrasi yang penuh dengan kekerasan (pada masa penjajahan yang disebut Indonesia adalah wilayah yang dulunya adalah kekuasaan Hindia-Belanda, sedangkan Timor diduduki oleh Portugis). Kemudian terjadinya “peristiwa Dili” pada 12 November 1991, yang diawali oleh bentrokan antara pemuda yang pro dan kontra terhadap integrasi. Kejadian ini juga yang menjadikan hubungan Indonesia dan Timtim renggang. Dan peristiwa ini menjadi sorotan berita dalam dan luar negeri dan dengan dicampuri oleh Australia maka kejadian ini pun semakin menjadikan keadaan tidak kondusif.

E. Masalah Indonesia dengan Timor Leste
Menteri Luar Negeri Timor Leste Jose Ramos Horta menegaskan, dengan dibebaskannya seluruh perwira militer Indonesia yang dianggap bertanggung jawab dalam kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor Timur, 1999 silam, itu akan menurunkan kredibilitas Indonesia di mata masyarakat internasional. “Ini akan menciptakan kesulitan bagi Indonesia,” tegas Horta saat dihubungi Tempo News Room melalui telepon genggamnya, Sabtu (7/8). Dia sendiri merasa terkejut dengan dibebaskannya mantan Panglima Komando Daerah Militer XI Udayana Mayor Jenderal Adam Damiri dari hukuman.
Damiri sebelumnya divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tingkat Pertama HAM ad hoc. Tiga perwira militer lainnya juga telah dibebaskan dari hukuman, yaitu mantan Komandan Resor Militer 154 Wiradharma Letnan Kolonel M. Noer Muis (divonis lima tahun), mantan Kepala Kepolisian Resor Dili Komisaris Besar Hulman Goeltom (tiga tahun), dan mantan Komandan Distrik Militer 1627 Dili Letnan Kolonel Sujarwo (lima tahun). Horta juga menyesalkan proses pengadilan HAM yang hanya menghukum dua warga sipil Timor-Timur, yaitu mantan Gubernur Timor-Timur Jose Abilio Soares dan mantan Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. “Kami sangat terkejut bahwa hanya dua warga sipil Timor Timur yang dihukum,” kata dia.

Namun demikian, lanjut dia, Pemerintah Timor Leste tidak menyetujui adanya desakan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membentuk suatu pengadilan internasional guna menghukum sejumlah pejabat militer Indonesia. “Itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste,” tegas Horta.
Dia merasa khawatir pembentukan pengadilan internasional nantinya akan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk merusak hubungan bilateral kedua negara. Dia menegaskan, pemerintahnya masih berharap Indonesia dapat memberikan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
Rencana pembentukan pengadilan internasional untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, dinilai dapat mengganggu hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste. “Tidak ada dampak positif terhadap hubungan Indonesia dan Timor Leste,” tegas juru bicara Departemen Luar Negeri Marty Natalegawa dalam acara jumpa pers di kantornya, Jumat (13/8). Dia menambahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Timor Timur harus berdasarkan posisi kedua negara dan bukan berdasarkan pendapat masyarakat internasional. Desakan untuk membentuk pengadilan internasional muncul setelah pengadilan HAM ad hoc di Indonesia membebaskan seluruh perwira militer dan kepolisian. Pengadilan hanya menghukum dua warga sipil Timor Timur, yakni mantan Gubernur Jose Abilio Osorio Soares dan mantan Wakil Panglima Milisi Aitarak Eurico Guterres. Sejumlah protes terhadap keputusan pengadilan ini, antara lain datang dari Pemerintah Amerika Serikat dan Selandia Baru.
Lebih lanjut Natalegawa mengungkapkan, gagasan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan tersebut akan menimbulkan kesan buruk. Dia mempertanyakan apakah lazim Sekretaris PBB memiliki wewenang untuk menilai proses hukum di suatu negara berdaulat. Dia juga mempertanyakan apakah Annan juga akan melakukan hal yang sama terhadap negara lain. “Ada potensi diskriminatif dan sangat mengganggu kemandirian proses hukum,” tegas dia. Dia menegaskan, selama ini pemerintah telah melakukan lobi terhadap negara-negara anggota Dewan Keamanan agar gagasan pembentukan pengadilan internasional itu tidak diterima. Dia merasa yakin pengadilan internasional tersebut tidak akan terbentuk karena hal itu memerlukan persyaratan yang ketat. Meski demikian, lanjut Natalegawa, pemerintah akan berusaha keras untuk meyakinkan negara-negara sahabat agar hal itu tidak terwujud. “Untuk bisa meyakinkan masyarakat internasional dan masyarakat kita sendiri bahwa rasa keadilan itu sudah terpenuhi,” lanjut dia.
Menteri Luar Negeri Jose Ramos Horta juga memiliki pandangan yang sama mengenai hal ini. “Itu akan menimbulkan kesulitan dalam hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste,” tegas dia.
Saat semua biaya yang dikucurkan untuk Timtim oleh Indonesia untuk pembangunan, tidak sedikit pengorbanan yang diberikan demi tidak terlepasnya Timor Lorosae. Namun pandangan dunia Internasional kepada Indonesia tentang pergolakan yang terjadi dan ditambah campur tangan Australia, hingga ahkirnya Timtim sudah terlepas kini. Semoga kejadian terlepasnya Timtim tidak akan terulang, walau kini di beberapa wilayah sudah banyak gerakan yang menginginkan lepas dari Indonesia seperti misalnya Aceh dengan GAM-nya dan Papua dengan OPM-nya, bahkan sekarang Maluku pun ikut-ikutan ingin merdeka dengan gerakan RMS-nya. Sekiranya pemerintah mampu dan kita semua juga harus sadar akan pentingnya bersatu dan persatuan, dalam perbedaaan dan jadikan itu adalah kebanggaan.